Welcome>>Selamat Datang Di Blog Marga Sung ^^

Jumat, 25 Januari 2013

Song Qian Profile


Song Qian (Chinese: ; pinyin: Sòng Qiàn, born February 2, 1987), better known as Victoria Song or monony mously as Victoria is a Chinese singer, dancer, actress, model, and the leader of the five-member South Korean girl group.
Victoria is one of the three members of not born in Korea, the others being Amber and Krystal.
As of 2011, she is considered one of the four best recognized celebrities of Chinese origin active in South Korea, along with Fei and Jia from girl group Miss A, and fashion model Wei Son.

Early Life
Victoria Song was born in Qingdao, Shandong. She left her hometown at a very young age to study Chinese traditional dance at the Beijing Dance Academy. After her high school graduation, she was accepted to the Beijing Dance Academy and majored in Chinese ethnic dance. In September 2007, Song was spotted by a SM agent at a Beijing dance competition and later joined the company

Biography
Song was scouted at a dance competition in Beijing on September 2007. She passed her audition for SM Entertainment and began preparing for her modeling career in South Korea. She possesses native fluency in Mandarin and is also fluent in Korean.
Song's first media appearance was for a Spris commercial in early 2008 with South Korean singer-actor Lee Jun-ki. In April 2008, Song modeled for Samsung in a music video with Korean actor-singer Rain. In May 2008, she appeared in Shinee's music video Replay.
In August 2009, Song was introduced as the leader of quintet dance group, .
On June 2010, it was announced Song was to be a cast member to We Got Married, pairing up with Nichkhun of 2PM (Thailand). Khuntoria was the couple's name in "We Got Married."
Song was a new member of G7 in Invincible Youth Season 1 replacing Sunny, Yuri from Girls' Generation and 4minute's Hyuna.
Song has guest-starred on the Korean comedy show Running Man on episode 8 at the Seoul Museum of History, Gyeonghui Palace.
In January 2012, Victoria began playing a principal role in When Love Walked In, a Taiwanese drama.
In 2010, Song won the 'Popularity Award' at the MBC Entertainment Awards.
On December 31st, Victoria together with her We Got Married partner 2PM Nichkhun MC-ed the 2011 MBC Gayo Daejun Festival.

Kamis, 24 Januari 2013

Song Nan Profile

Song Nan (Chinese宋楠pinyinSòng Nán; born August 9, 1990 in QiqiharHeilongjiang) is a Chinese figure skater. He won the silver medal at the 2009-10 Junior Grand Prix Finaland the 2010 Junior Worlds, and is a two-time senior Grand Prix medalist. He is also a 3-time Chinese National Champion (2009, 2012, 2013)

Career
Song started skating at age 6. His parents put him in skating to improve his health. He lives and trains at Beijing's Capital Gymnasium Sports Complex, which includes dormitories.
In his final season as a junior, Song two junior Grand Prix medals, a silver and a gold, to qualify for the 2009–10 Junior Grand Prix Final. He finished second to Yuzuru Hanyu in both the Junior Grand Prix Final and the 2010 Junior Worlds.
Song turned senior in 2010–11; his best result in his first senior season was a bronze medal at the 2011 Asian Winter Games. In the 2011-12 season, Song won a bronze medal at the 2011 Cup of China and the silver medal at the 2011 Trophee Eric Bompard. He was the first alternate for the Grand Prix Final.
Song withdrew from the 2012 Cup of China after sustaining a concussion in a collision with American skater Adam Rippon a minute into the final warm up before the free skate.Song was kept in the hospital overnight for observation. Although 14 days rest was recommended, Song decided to compete at his next assignment, the 2012 Trophee Eric Bompard. Song then won the gold medal at the 2013 Chinese Championships

Rabu, 23 Januari 2013

Gus Dur Dan Silsilah Tionghoa

Dalam kunjungan ke Beijing University, 3 Desember 1999, dalam kapasitas sebagai Presiden Republik Indonesia. Dia mendapat applaus yang meriah saat mengatakan kepada para mahasiswa Beijing University bahwa anaknya belajar bahasa Mandarin di sebuah universitas di Indonesia. 

Sebelum meninggalkan Beijing, Gus Dur menekankan perlunya memperkuat hubungan antara Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok untuk menciptakan keseimbangan dengan Barat. Disisi lain Beijing merespond dengan mengirimkan tim dokter untuk ke Jakarta guna merawat mata Gus Dur dengan sistem pengobatan tradisional Tiongkok.

Leluhur Gus Dur bernama Tan Kim Han [Chen Ji Han] , asal Jinjiang didekat Quanzhou, Fujian di masa Dinasti Ming. Gus Dur memberikan otoritas kepada peneliti Tiongkok untuk melakukan riset tentang leluhurnya. Di Bulan September 2003. Silsilah singkat tentang Tan Kim Han muncul ketika terkumpul dua catatan silsilah , dari marga Tan cabang Meixi dan cabang Chizai yang dikompilasi di tahun 1576 dan 1907.

Tan Kim Han alias Tan Kwee Liang [Chen Ji Liang] hidup di sebuah desa yang disebut Shichun di Jinjiang County, deka Quanzhou , provinsi Fujian . Ayahnya adalah Tan Teck [Chen De] , memiliki dua anak. Kakak tertuanya , Mengliang adalah seorang pejabat di Nanjing. Tan Kim Han lahir di tahun 1383 pada masa pemerintahan Hongwu. Dia menikah tanpa anak dan mengajar di satu sekolah di Leizhou setelah lulus dalam ujian di tahun 1405.

Tan Kim Han ikut bersama Cheng Ho [Zheng He] dan berkunjung ke Lambri-Aceh yang setelah itu tidak ada catatan mengenai dirinya [Chizai Fang Jiapu , 1907]. Dalam catatan keluarga , Tan Kim Han juga merupakan umat dari kepercayaan asing, kemungkinan Islam.

Ma Huan menggambarkan Lambri di tahun 1413 telah menjadi kerajaan Islam. Memiliki populasi sekitar 1000 keluarga. Ma Huan mencatat bahwa semuanya Muslim dan mereka orang yang jujur. Raja di daerah itu juga beragama Muslim [Ma Huan 1997, pp 122-123]. Tan Kim Han mungkin tertarik terhadap komunitas Muslim yang hidup di Lambri dan memutuskan untuk tinggal disana. Dia menikah dengan wanita setempat dan membangun keluarga di Lambri.

Keluarga yang dibentuk Tan Kim Han mulai berkembang dan menjadi keluarga yang berpengaruh dikomunitas Muslim di Jawa Timur. Tan Kim Han diberi panggilan Syekh Abdul Qodir Al-Shini. Berdasar penelitian seorang peneliti Prancis Louis-Charles Damais, Tan Kim Han diidentifikasi sebagai seorang tokoh yang makamnya ditemukan di Trowulan, Jawa Timur. Hasyim Asyari adalah kakek Gus Dur, merupakan pendiri Nahdlatul Ulama [NU] . Sementara Bisri Syansuri adalah Muslim pertama yang memperkenalkan kelas untuk wanita. Ayah Gus Dur , Wahid Hasyim , terlibat dalam perjuangan nasional. 

Gus Dur adalah pemimpin religi sekaligus politik yang akhirnya menjadi presiden ke 4 Republik Indonesia. Artikel Jawa Pos (2009) yang berjudul "Saya Keturunan Tan Kim Han" menyebutkan bahwa Gus Dur di beberapa kesempatan kerap mengungkapkan bahwa dirinya masih memiliki darah Tionghoa dan pembelaannya terhadap warga kelompok minoritas bukan semata-mata faktor keturunan"


Huang Zhiwang

Selasa, 22 Januari 2013

Perbedaan Dasar Hakka-nyin dan Hokkian-lang

Perbedaan mendasar antara orang Hakka dan Hokkian adalah dari segi bahasa. Bahasa orang Hokkian adalah Minnanhua [Banlam'ue] sedangkan bahasa orang Hakka adalah Kejiahua [Hakkafa]. Kedua bahasa ini berbeda cukup jauh, sehingga orang Hakka tidak bisa mengerti pembicaraan bahasa Hokkian, dan sebaliknya.

Mayoritas orang Hakka berasal dari propinsi Guangdong [Hakka: Kuongtung, Hokkian: Kngtang], dengan daerah yang dianggap 'pusat' orang Hakka di kabupaten Meixian (sekarang kota Meizhou) di Guangdong Timur Laut. Sedangkan orang Hokkian berasal dari propinsi Fujian Tenggara [Hokkian: Hokkian, Hakka: Fukkian] di keresidenan Quanzhou, Zhangzhou, dan Xiamen.

Di Pulau Jawa, orang Hokkian merantau terlebih dahulu, terutama di kota2 pesisir utara Pulau Jawa. Pada kelompok pertama orang Hokkian yang merantau ke Indonesia (umumnya lelaki, jarang wanita yang ikut merantau) terjadi kawin campur dengan wanita asli Indonesia, yang kemudian menghasilkan golongan Tionghoa Peranakan.

Orang Hakka yang terlebih dahulu merantau ke Indonesia, umumnya berada di Kalimantan Barat. Orang Hakka di Bangka dan Belitung didatangkan untuk bekerja di pertambangan timah.

Di Indonesia, secara keseluruhan orang Hokkian adalah yang terbesar, kemudian diikuti oleh orang Hakka. Populasi orang Hokkian banyak di Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Maluku. Sedangkan orang Hakka adalah Tionghoa terbanyak di Aceh, Bangka Belitung, Kalimantan Barat. Di Pulau Jawa orang Hakka cukup banyak di Jabar (walaupun tetap lebih banyak orang Hokkian), dan sedikit di Jateng dan Jatim.

Dialek BAHASA MIN
Dulu bahasa Hokkian/Min dibedakan menjadi Hokkian Utara (Hokciu, Hokchnia, Hinghua) dan Hokkian Selatan (Hokkian).
Sekarang bahasa Min dibedakan menjadi: (1) Mindong (Min Timur), di Fuzhou, Fuqing , (2) Minbei (Min Utara), (3) Minzhong (Min Tengah), di Yong'an, Sanming, Shaxian. (4) PuXian (Putian dan Xianyou), di Putian, Xianyou (catatan :  sebelumnya digabungkan sebagai Mindong , (5) Minnan (Min Selatan), mencakup wilayah Quanzhou, Zhangzhou, Xiamen (ketiganya di Fujian), Chaoshan (Chaozhou dan Shantou), Leizhou di Guangdong, dan Zhejiang selatan.

DIALEK HAKKA
Dialek standard bahasa Hakka adalah dialek Meixian (nama kabupaten di Guangdong), yang sekarang disebut Meizhou shi (kota Meizhou). Pembagian sub-dialek bahasa Hakka menurut Dr. Lau Chun-fat adalah (1) Jiaying, (2) Minxi-Gannan, (3) Yuemin dan (4) Yuezhong.

KING HIAN 

Pembagian Sub-Dialek Dalam Bahasa Hakka

Dialek standard bahasa Hakka adalah dialek Meixian (nama kabupaten di Guangdong), yang sekarang disebut Meizhou shi (kota Meizhou). Pembagian sub-dialek bahasa Hakka menurut Dr. Lau Chun-fat adalah (1) Jiaying , (2) Minxi-Gannan , (3) Yuemin dan (4) Yuezhong.

Subdialek Jiaying tersebar dikawasan Guangdong Utara, Guangdong Timur Laut, Guangxi, Sichuan Timur, Taiwan, dengan pengguna sekitar 24 juta. Sub-dialek Minxi-Gannan tersebar dikawasan Fujian Barat dan Jiangxi Selatan, dengan pengguna sekitar 10 juta. Sub-dialek Yuemin tersebar dikawasan Guangdong Tenggara dan Fujian Selatan, dengan pengguna sekitar 1 juta dan sub-dialek Yuezhong tersebar dikawasan Guangdong Tengah dengan pengguna 1 juta. Jadi bisa dilihat bahwa subdialek Jiaying merupakan subdialek terbesar.
Subdialek Jiaying terbagi lagi kedalam dua kelompok yaiutu Meixian yang terdiri dari tujuh logat dan Wuhua yang yang terdiri dari lima logat. Tujuh logat Meixian itu adalah Meizhou , Sixian , Huiyang-bao , Huiyang-bao, Yuexi-Guangxi, Xinning, Hailu dan  Gannan Guangdong. Lima logat Wuhua adalah Wuhua, Yuebei, Jiexi, Dongguan, Sichuan dan Tonggu. Logat Meizhou (dahulu: Meixian [Moiyan]) mencakup bahasa di daerah  Meizhou, Dabu [Thaiphu], Jiaoling, Pingyuan, Longchuan, Zijin (semuanya di Guangdong).

Sepengetahuan saya, mayoritas orang Hakka di Jawa termasuk logat Meixian (Jiaying-Meixian-Meizhou). Selain itu ada juga beberapa yang berasal dari Xingning [Hinnen] (Jiaying-Meixian-Xinning) dan Yongding [Yunting] (Minxi-Gannan). 

Untuk orang Hakka di Bangka-Belitung dan Kalimantan Barat, saya tidak tahu termasuk logat yang mana. Tetapi kalau melihat perbedaan dengan dialek Moiyan, kelihatannya logatnya mirip dengan logat Hailu [Hoiluk] (Jiaying-Meixian-Hailu). 

Moiyan    Hoiluk
Wong      Bong    (kuning)
Yong       Jong     (kambing)
Nyi          Ngi       (kamu)
Nyan       Ngan    (mata)
KING HIAN .

Senin, 21 Januari 2013

MENGAPA BUDAYA TIONGHOA MENGENAL BANYAK DEWA?

Kenapa orang Tionghoa memiliki banyak dewa? Itu karena banyak sekali orang yang berjasa dan memberikan kontribusi bagi masyarakat dan juga dikenal memiliki moral yang baik, bersikap baik dan berbakti pada negara.
Kita akan kehabisan waktu kalau harus menyebut satu persatu tokoh mulai dari  Jiang Ziya, Huang Feihu, Wen Zhong, Zhang Fude, lantas ditarik ke Han Xin, Zhang Liang, Zhuge Liang, Guan Gong, Yue Fei, Lin Mo Niang, yang kalau disebutkan terus sepanjang ribuan tahun tidak ada habisnya.
Yang memberi gelar dan pengesahan itu adalah pihak kekaisaran setelah mendapat masukan dari para pejabat setempat dan di informasinya diolah di Li Bu Sang Shu , Kementrian Ritual.


Tetapi ada juga dewa-dewi yang tidak pernah eksis , dan tetap mendapat pengakuan tapi tidak mendapat penganugerahan dari pihak kekaisaran , seperti Giam Lo Ong, Niutou mamian, Hei wuchang , Bai wuchang, Wu Yingjiang dan sebagainya. 
Bagi kekaisaran konsep penganugrahan itu perlu dan mutlak untuk kontrol sosial masyarakat dengan memberikan tokoh panutan dan nasib buruk kalau tidak bisa hidup dengan  benar. Malah yang paling menyolok itu kasus Qin Kui yg patungnya ada tapi buat diludahin melulu.

Istilahnya kalau  hidup dengan benar maka saat meninggal juga menjadi dewa  tapi kalau hidup tidak benar maka saat meninggal bisa menjadi setan.  Itu sesuai dengan pemikiran Mo Zi dan juga Kong Zi dalam hal ini adalah cara atau suatu sistem kontrol sosial masyarakat dan juga mendorong masyarakat berbuat kebajikan serta menjauhi perbuatan buruk.

Seandainya Tiongkok masih mengadopsi sistem kekaisaran, itu yang namanya Zhu De , Zhou En Lai dan para pahlawan bangsa  pasti mendapat gelar seperti itu.

Dan gak semua tokoh atau dewa bisa mendapat penganugrahan dari kekaisaran.  Misalnya Hu Xian alias Dewa Rubah  yang dari jaman Ming sudah populer dan banyak rakyat jelata yang memohon kepadanya, tidak bakal diberi penganugrahan. Demikian juga Wu Tong , tidak mendapat penganugerahan , malah bisa2 disegel tempatnya. Tapi yang namanya Zi Gu alias Dewi Toilet  tetap dibolehkan oleh pihak kekaisaran. Why ? 

Ardian Zhang

Kamis, 17 Januari 2013

SATU MARGA BEDA SUKU


Mungkin perlu dijernihkan terlebih dulu tentang istilah suku. Dalam  bahasa Tionghoa, orang Hokkian, Hokchnia,  Kheq, Konghu dll tidak disebut suku, tapi kelompok masyarakat atau minxi. Karena kalau dilihat sukunya, dalam arti luas adalah orang Han. Orang Han merupakan suku mayoritas dari bangsa Tionghoa yang terdiri dari 56 etnis, orang Han menduduki 91% lebih dari penduduk Tiongkok

Orang Tionghoa di Indonesia yang saya tahu, hampir semua orang Han (mungkin ada yang bukan tapi paling beberapa orang). Karena tempat tinggal yang berbeda dan lalu lintas zaman dulu sulit, maka terjadi pergeseran dalam bahasa lisan, muncullah dialek-dialek sperti Hokkian, Hokchnia, Kheq (Hakka), Tiociu, Konghu, Hinghua, Hainan dll. Sebetulnya mereka tak dapat disebut suku, tapi kalau anda maksud ini, maka dapat dipastikan, bahwa hampir semua yang bershe sama adalah keturunan yang sama, bahkan para ahli ada yang mengatakan 85%. Mengapa 85% bukan 100%. Ini disebabkan oleh karena, yang 15% itu keturunan dari she lain yang mengganti shenya, atau etnis minoritas yang mengganti shenya sebagai hasil asimilasi dengan etnis Han. Contoh shenya dikenakan hukuman oleh kaisar terpaksa mengganti she, ada yang diberi she Kaisar sebagai tanda penghargaan. Ada etnis minoritas yang mengganti shenya menjadi she orang Han dll
Sekarang yang merasa aslipun, karena tinggal di tanah yang demikian luasnya dan berpentuduk demikian banyaknya, maka mereka berkembang di berbagai pusat, pusat itu biasanya didirikan oleh orang yang mempunyai wibawa, hartawan, pejabat yang berjasa dll. Mereka mendirikan rumah abu leluhur, dan tempat ini disebut Junwang, atau kalau mau dialih bahasakan, dapat disebut Pusat Leluhur.  She yang besar mempunyai beberapa pusat leluhur, tiap pusat leluhur mempunyai keturunan yang sama. Yang berbeda pusat leluhur belum tentu beda, tapi perbedaan  itu sudah jauh. Yang punya pusat leluhur cabang, biasanya masih dekat hubungannya, apalagi yang kelentengnya berada di satu tempat, misalnya di kecamatan, itu pasti hubungannya dekat.

ETNIS BEDA BELUM TENTU SATU LELUHUR 


Bila etnisnya beda, belum tentu satu leluhur, sebab etnis lain banyak yang mengambil she orang Han karena pengaruh budaya, misalnya etnis Hui, namanya nama Han, etnis  Mancu sekarang namanya nama Han, bahkan etnis Tibet, etnis Mongol dll. banyak namanya yang menggunakan she orang Han, sehingga turunannya tak mungkin ketahuan kecuali masih punya silsilah.
Kalau pertanyaan anda diperjelas begini: she Lim orang Hakka dan she Lim orang Hokkian apa turunan dari orang yang sama?

Jawabannya: Kalau she itu asli, bukan diganti karena dipungut anak dll, dapat dikatakan yah, tapi kalau dibanding orang she Lim yang berasal dari Ciangciu dan berasal dari Cuanciu , maka hubungannya sudah lebih jauh.  Misalnya mungkin kedua orang she Lim Hokkian dari Ciangciu dan dari Cuanciu, merupakan generasi ke-4 dari orang yang sama, tapi orang she Lim Hokkian dan orang she Lim Hakka itu adalah keturunan ke-15 dari orang she Lim yang sama. Dalam hal ini silsilah yang sangat penting. Tapi tidak tiap rumah punya silsilah. Dan silsilah keluarga adalah milik keluarga yang dibagikan hanya kepada turunannya, bertanya kepada orang di luar keluarga itu tak akan tahu. Pendek kata, boleh dianggap famili, meskipun mungkin sudah jauh.
Salam
Liang U

Rabu, 16 Januari 2013

Sembahyang Tangcik, Bubur La-ba Dan Ronde (Bagian II)


Jiaozi
Hari sembahyang la-ba berdekatan dengan dong-zhi (atau tangcik).  Tahun 2012 Tangcik jatuh pada tanggal 21 Desember, (Imlek  bulan 11 tanggal 9).   Kenapa Dong-zhi selalu dihitung berdasarkan penanggalan internasional? Karena sejak semula dalam menentukan saat dong-zhi, mereka menghitung berdasarkan panjang pendeknya bayangan matahari dengan alat yang disebut “gui 圭”. Mereka menemukan dalam kurun satu tahun ada dua saat dimana hari siang terpanjang dan saat hari siang yang terpendek. Saat dimana siang terpendek dan malam terpanjang itulah ditentukan hari dong–zhi, atau tibanya musim dingin, yang dalam istilah orang Barat dinamakan Winter Solstice. Pada saat ini matahari berada pada titik tepat garis 23 ½° Lintang Selatan. Malam terpanjang dalam setahun, setelah itu barulah matahari mulai balik ke utara. Dan hari siang dari yang paling pendek perlahan bertambah panjang, dan malam semakin pendek. Pada saat matahari ada di garis balik 23 ½° derajat Lintang Utara, adalah waktu siang terpanjang dan malam paling pendek. Saat ini disebut xia zhi 夏至 (hee cik), atau Summer Solstice, jatuh pada tanggal 21-23 Juni.

Jadi ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam membicarakan dong-zhi, menurut para sarjana Dinasti Song :
  1. “Yang“ mencapai puncak (Arah selatan atau belahan bumi selatan disebut “Yang”)
  2. Hawa Yin mencapai puncak.  Artinya musim dingin mencapai puncak, waktu malam terpanjang.
  3. Matahari – tai-yang berada pada titik paling selatan (garis-balik 23 ½° LS)
Di Eropa kuno yang sebagian penduduknya menganut penyembahan Dewa Matahari Mithra (Mithraisme), saat itu dianggap kelahiran kembali Dewa Matahari dan dirayakan dengan kegembiraan. Dalam perkembangannya kemudian setelah Kristenisasi, mereka menjadikan festival kelahiran Mithra sebagai hari Natal - kelahiran Yesus [1]
Dong-zhi pada jaman Dinasti Zhou, Qin dirayakan sebagai tahun baru. Pada penanggalan Imlek yang dipakai pada jaman dinasti Han, dong-zhi jatuh pada  bulan 11.  Sebab itu menurut perhitungan waktu di-zhi 地支atau cabang bumi,  bulan 11 dimulai dengan huruf “子zi”, huruf pertama dari 12 huruf cabang bumi, untuk menunjukkan permulaan tahun baru, dong-zhi dirayakan meriah  seperti hari raya, sebab itu dikenal dengan sebutan dong-jie冬节, festival musim dingin. Kerajaan memandang dong-jie sebagai perayaan yang penting. Sebelum dan setelah dong-jie  semua kegiatan libur, sidang kerajaan ditutup, kaisar beristirahat, demikian juga para menteri. Setelah berlaku penanggalan baru dan ditetapkan chun-jie - pesta musim semi atau sincia sebagai tahun baru, dong-jie masih tetap dirayakan walau tidak semeriah sincia.
Dikalangan rakyat perayaan dong-zhi diisi dengan berkumpul dengan sanak keluarga, makan bersama, saling berkunjung dan bersembahyang pada leluhur.
Di beberapa wilayah ada kebiasaan menyantap hun-dun (semacam pangsit)   dan jiao-zi. Kebiasaan makan jiao-zi dihubungkan dengan seorang tabib terkenal jaman Dinasti Han, Zhang Zhongjing. Pada saat hawa begitu dingin ketika dongzhi, banyak orang menderita “radang-dingin-frostbite” ia merebus beberapa macam daun obat dan dicampur cabai, ditambah bumbu sedikit sebagai kuah, lalu cacahan daging kambing dibungkus dengan kulit dari terigu, dimasukan dalam kuah tersebut.  Ternyata hasil ramuan Zhang ini jadi obat manjur untuk penderita radang dingin inilah awal dikenalnya jiao-zi sebagai makanan saat dong-zhi.
Pada Jaman dinasti Ming dan Qing baru dikenal kebiasaan makan ronde. Para anggota keluarga berkumpul sekitar perapian sambil membuat ronde yang diseduh dengan wedang jahe, dengar harapan mereka bisa rukun dan apa yang menjadi pengharapan bisa terkabul. Bentuknya yang bundar bermakna “lancar bergulir” Jadi mereka berharap agar semua permohonan dan harapan bisa lancar dan terkabul.
Makan ronde semangkuk semakin bermakna karena ada kiatnya. Sekali sendok harus dua butir, setelah beberapa kali dan hampir habis sisanya di hitung, apabila sisanya 2 butir, berarti apa yang diharapkan dari keluarga itu akan terkabul. Dan bila sisanya satu butir, anak anak yang masih lajang kemudian hari akan lancar rejekinya.
Tentang awal-mula makan ronde saat tangcik ini ada satu cerita rakyat yang mengharukan. Ada satu keluarga miskin yang terdiri seorang janda dan dua anaknya yang masih kecil. Suaminya telah meninggal beberapa waktu lalu. Ia terpaksa membanting tulang bersusah payah untuk membesarkan anak-anaknya agar kelak bisa jadi orang berguna. Ia berhasil merawat anak anak itu sampai dewasa.  Untuk membalas budi ibunya anak-anak  berusaha mencari pekerjaan. Apa mau dikata, wilayah itu dilanda bencana kekeringan yang hebat, sehingga hampir tak ada yang bisa tumbuh disitu.  Kedua anak itu memutuskan untuk mencari kerja di seberang lautan .
Dengan sangat berat hati sang ibu terpaksa memberi ijin. Pada hari keberangkatannya sang ibu menyiapkan adonan tepung untuk membuat sedikit makanan sebagai bekal. Apa mau dikata, belum sempat tepung di buat adonan, terdengar tanda kapal yang akan ditumpangi anaknya akan segera berangkat. Tanpa menunggu lagi sang anak lalu berpamit dan bergegas menuju kapal. Sang ibu hanya bisa menangis menatap keberangkatan putranya. Air matanya menetes jatuh di tepung yang masih belum sempat dibuat adonan, dan membentuk bola-bola kecil seperti ronde. Dan saat itu kebetulan hari raya tangcik. Sejak itu untuk mengenang anak-anaknya ditempat jauh orang-orang membuat ronde pada waktu tangcik. Mereka mengharap anggota keluarga berkumpul dalam suasana rukun, dan mengenang anggota keluarga dan leluhur yang telah meninggal. Sebab itu pada hari dongzhi selalu diadakan sembahyang leluhur. Pada hari itu pula, kaisar memimpin sembahyang besar di kuil leluhur, dengan doa agar negerinya aman tentram, makmur dan rakyatnya sejahtera - Guo-tai min-an, Feng-tiao yu-shun, Shi-jie an-ning.
Sekian. 
Kwa Tong Hay

Selasa, 15 Januari 2013

Sembahyang Tangcik, Bubur Laba Dan Ronde (Bagian I)

Bulan 12 penanggalan Imlek biasa disebut La Yue – 腊月(atau bulan La). “La” adalah suatu upacara sembahyang besar yang dilaksanakan pada bulan itu, disebut La- ji –腊祭. Dalam masyarakat agraris, kebiasaan hidup berkaitan erat dengan produksi pertanian. Musim semi adalah waktu untuk membajak dan menabur bibit (Chun Geng - 春耕). Musim panas untuk menanam dan menyiangi (Xia Yun - 夏耘). Musim gugur untuk panen (Qiu Shou 秋收), dan musim dingin untuk menyimpan hasil panen (Dong Cang - 冬藏).
Sumber : Meishichina.comBagi rakyat Tiongkok yang sebagian besar hidup di wilayah sub-tropis,  kesibukan kerja dimulai awal musim semi, dan berakhir pada musim gugur saat panen. Pada musim dingin mereka beristirahat, sehingga banyak waktu luang. Ini digunakan untuk kegiatan religius yaitu mengadakan upacara sembahyang sebagai ucapan terima kasih kepada roh alam dan leluhur yang tanpa bantuan mereka dipastikan tidak akan berhasil menikmati panen yang begitu berlimpah.  Korban yang dipersembahkan terutama dari hasil berburu, ternak dan hasil pertanian. Jaman dulu huruf “La 腊” identik suaranya dengan “Lie 猎 - berburu”。 La腊 bisa juga berarti peralihan “jie 接”, 就阿迪比萨嗲人体看不烂秧么南戴 peralihan tahun. Inilah mengapa bulan 12 disebut La-yue.
Sembahyang La-ji diselenggarakan pada tanggal 8, bertujuan terutama untuk memohon kesejahteraan dan kesehatan, agar bisa terhindar dari bencana dan selalu diberi rahmat. Ada 8 roh yang biasanya di beri persembahan oleh para petani. Kedelapan roh itu disebut Ba-la-shen 八腊神. Roh-roh itu umumnya merupakan penghuni benda-benda yang ada hubungannya dengan kehidupan para petani;  misalnya Shui-yong-shen yaitu roh penghuni saluran air, Di-ji-zhu – roh penunggu pondasi, Mao-hu-shen yaitu kucing atau harimau yang dianggap petani telah membantu dengan memangsa binatang hama seperti babi hutan dan tikus. 
Sembahyang La-ji ini sudah ada sejak jaman purba tapi setelah jaman Dinasti Han barulah ditetapkan jatuh pada tanggal 8. Pada bulan ini ada kebiasaan orang membuat bubur yang disebut bubur la-ba atau 腊八粥. Bahan yang dipakai biasanya dari beras, ketan, kedelai , kacang hijau dicampur dengan buah-buahan kering seperti angco, goji berry,  kismis,  biji teratai. Di berbagai tempat tidak sama menyesuaikan keadaan setempat. Sekarang bahan mentah bubur ini sudah dikemas dalam satu katung dan tersedia di setiap supermarket dengan label Ba-bao zhou (八宝粥) 。
Kebiasaan membuat bubur ini ada yang mengatakan berasal dari kalangan Buddhis. Mereka membuat ini untuk memperingati Sakyamuni pada saat menderita kelaparan dan kehausan dalam perjalanan di negara bagian Bihar-  India. Sakyamuni jatuh kelelahan di tepi sebuah sungai dan ditolong oleh seorang perempuan gembala yang memberinya rebusan makanan kering dicampur dengan buah-buahan liar yang ada ditempat itu. Setelah bersantap Sakyamuni segar kembali, ia lalu lanjutkan samadhinya di bawah pohon Bodhi hingga mencapai pencerahan dan menjadi Buddha.
Penganut Buddha menjadikan hari ini sebagai hari pencerahan.  Setelah agama Buddha masuk Tiongkok, kebiasaan ini dicampur-adukan dengan kebiasaan sembahyang La-ji pada akhir tahun. Pada hari itu disamping pembacaan kitab suci, para bikkhu membuat bubur yang dibagikan pada umat sekitar vihara dan kaum miskin yang datang.
Ada versi lain yang mengatakan bahwa kebiasaan membuat bubur la-ba  adalah usaha untuk meningkatkan daya tahan tubuh  dalam melawan penyakit. Dalam Xuan-zhong ji-玄中记, sebuah buku kuno yang kini telah hilang  terdapat catatan tentang tiga putra Maharaja Zhuan-xu yang meninggal muda berubah menjadi hantu pembawa penyakit yang khusus meneror anak-anak. Anak kecil yang terkena demam akibat ulah para hantu itu. Hantu takut pada benda yang berwarna merah, sebab itu para orang tua lalu membuat bubur kacang merah untuk menakuti hantu-hantu itu. Ini salah satu kisah asal mula bubur la-ba.
Yang paling popular adalah kisah yang dihubungkan dengan Zhu Yuan-zhang Kaisar pertama Dinasti Ming. Ketika masih kecil, karena keluarganya yang sangat miskin Zhu terpaksa bekerja menjadi gembala di rumah seorang tuan tanah. Majikan ini keras dan bengis, Tak jarang hanya karena kesalahan kecil Zhu dihajar babak belur. Suatu hari karena kerbau yang digembalakan jatuh keparit dan kakinya patah, setelah di hajar Zhu dimasukkan dalam gudang kosong tanpa diberi makan. Dalam keadaan kelaparan Zhu kecil berusaha berburu tikus untuk menangsel perut. Ia menemukan lobang tikus ketika dibongkar didalamnya ia menemukan berbagai biji-bijian dan buah-buahan kering. Dari bahan bahan itu Zhu membuat bubur, dan berkat bubur itu Zhu terselamatkan. Setelah menjadi kaisar, Zhu Yuan-zhang, yang bosan akan segala hidangan  mewah, suatu hari teringat masa kecilnya yang penuh derita, Ia lalu meminta juru-masak istana membuatkan bubur seperti yang pernah dinikmatinya  ketika itu, lalu ia memanggil para menterinya untuk bersama-sama menikmati. Kebiasaan ini kemudian berlanjut dan menular kekalangan rakyat.
Kebenaran kisah ini masih menjadi pertanyaan mengingat dalam catatan sejarah Dinasti Song, di Kaifeng yang pada waktu itu jadi ibukota, sudah ada kebiasaan membagi bubur pada saat sembahyang la-ji. Dan yang lebih awal lagi ternyata di vihara-vihara pada jaman Tang sudah ada kebiasaan membuat bubur yang kemudian dibagikan pada penduduk miskin setiap bulan 12. Bubur itu disebut Bubur Buddha – Fo Zhou 佛粥. Para bikkhu itu berkeliling mencari sedekah, dan memperoleh berbagai bahan makanan, semua itu dikumpulkan dan dimasak bersama-sama, dan jadilah bubur dengan bermacam-macam rasa didalamnya. Inilah yang kemudian dipercaya sebagai awal adanya bubur la-ba. Kebiasaan ini meluas di kalangan rakyat. Mereka membuat bubur untuk menjamu para sahabat dan handai taulannya untuk menjalain keakraban dan kerukunan. Para pejabat juga tidak ketinggalan hari itu mereka menyediakan bubur dalam jumlah besar, membuka tempat santap bersama sebagai wujud kepedulian pada masyarakat.
(Bersambung ke bagian 2)

Senin, 14 Januari 2013

TRADISI ANGPAO PADA HARI RAYA IMLEK



Sejak lama, warna merah melambangkan kebaikan dan kesejahteraan di dalam kebudayaan Tionghoa. Warna merah menunjukkan kegembiraan, semangat yang pada akhirnya akan membawa nasib baik.

Angpao sendiri adalah dialek Hokkian, arti harfiahnya adalah bungkusan /amplop merah.
Sebenarnya, tradisi memberikan angpao sendiri bukan hanya monopoli tahun baru Imlek, melainkan di dalam peristiwa apa saja yang melambangkan kegembiraan seperti pernikahan, ulang tahun, masuk rumah baru dan lain2, angpao juga akan ditemukan.

Angpao pada tahun baru Imlek mempunyai istilah khusus yaitu "Ya Sui", yang artinya hadiah yang diberikan untuk anak2 berkaitan dengan pertambahan umur/pergantian tahun.

Di zaman dulu, hadiah ini biasanya berupa manisan, bonbon dan makanan. Untuk selanjutnya, karena perkembangan zaman, orang tua merasa lebih mudah memberikan uang dan membiarkan anak2 memutuskan hadiah apa yang akan mereka beli.
Tradisi memberikan uang sebagai hadiah Ya Sui ini muncul sekitar zaman Ming dan Qing. Dalam satu literatur mengenai Ya Sui Qian dituliskan bahwa anak2 menggunakan uang untuk membeli petasan, manisan. Tindakan ini juga meningkatkan peredaran uang dan perputaran roda ekonomi di Tiongkok di zaman tersebut.

Angpao apakah disebut angpao di zaman dulu? Bagaimana bentuknya?

Tidak. Uang kertas pertama kali digunakan di Tiongkok pada zaman Dinasti Song, namun baru benar2 resmi digunakan secara luas di zaman Dinasti Ming. Walaupun telah ada uang kertas, namun karena uang kertas nominalnya biasanya sangat besar sehingga jarang digunakan sebagai hadiah Ya Sui kepada anak2.

Di zaman dulu, karena nominal terkecil uang yang beredar di Tiongkok adalah keping perunggu (wen atau tongbao). Keping perunggu ini biasanya berlubang segi empat di tengahnya. Bagian tengah ini diikatkan menjadi untaian uang dengan tali merah. Keluarga kaya biasanya mengikatkan 100 keping perunggu buat Ya Sui orang tua mereka dengan harapan mereka akan berumur panjang.

Jadi, dari sini dapat kita ketahui bahwa bungkusan kertas merah (angpao) yang berisikan uang belum populer di zaman dulu.

Pemberian angpao apakah punya makna tersendiri?

Orang Tionghoa menitik beratkan banyak masalah pada simbol-simbol, demikian pula halnya dengan tradisi Ya Sui ini. Sui dalam Ya Sui berarti umur, mempunyai lafal yang sama dengan karakter Sui yang lain yang berarti bencana. Jadi, Ya Sui bisa disimbolkan sebagai "mengusir/meminimalkan bencana" dengan harapan anak2 yang mendapat hadiah Ya Sui akan melewati 1 tahun ke depan yang aman tenteram tanpa halangan berarti.

Siapa yang wajib memberikan angpao dan berhak menerima angpao?

Di dalam tradisi Tionghoa, orang yang wajib dan berhak memberikan angpao biasanya adalah orang yang telah menikah, karena pernikahan dianggap merupakan batas antara masa kanak2 dan dewasa. Selain itu, ada anggapan bahwa orang yang telah menikah biasanya telah mapan secara ekonomi. Selain memberikan angpao kepada anak2, mereka juga wajib memberikan angpao kepada yang dituakan.

Bagi yang belum menikah, tetap berhak menerima angpao walaupun secara umur, seseorang itu sudah termasuk dewasa. Ini dilakukan dengan harapan angpao dari orang yang telah menikah akan memberikan nasib baik kepada orang tersebut, dalam hal ini tentunya jodoh. Bila seseorang yang belum menikah ingin memberikan angpao, sebaiknya cuma memberikan uang tanpa amplop merah.

Namun tradisi di atas tidak mengikat. Sekarang ini, pemberikan angpao tentunya lebih didasarkan pada kemapanan secara ekonomi, lagipula makna angpao bukan sekedar terbatas berapa besar uang yang ada di dalamnya melainkan lebih jauh adalah bermakna senasib sepenanggungan, saling mengucapkan dan memberikan harapan baik untuk 1 tahun ke depan kepada orang yang menerima angpao tadi.

Jumat, 11 Januari 2013

The Elm Tree Palisades: The Great Wall of the Northern Song


Fig. 1
Fig. 1 Remains of Tang dynasty Great Walls in Chicheng county, Hebei province.
Within China's annals of more than two and a half millennia of building Great Wall defensive systems, the Song dynasty (Northern, 960-1127 and Southern, 1127-1279) is regarded as one of the very few ruling polities, like the Tang, that did not engage in the construction of some form of defensive barricades along its northern borders. But the Tang did build walls (Fig. 1), and the Song, as shown in a recently published article, had their own approach to the need to barricade themselves from any potential enemy threatening their settled way of life.

The Song dynasty is remembered today for its material culture and literature which preserve an image of genteel living and refined taste. In philosophy, the Song saw a resurgence of the examination system, intellectual enquiry and the emergence of a new sobriety, in which religious and secular ideas attained balance and synthesis. This was encapsulated in what later came to be called Neo-Confucian thought. Buddhism, Daoism and popular religion also flourished in this general atmosphere of dedication, idealism and tolerance. The visual arts of the Song dynasty captured the new balance and restraint. Painting and calligraphy attained unprecedented subtlety by dint of imperial patronage, exemplified by that of the artist and emperor Zhao Ji, better known by his temple name of Song Huizong (r. 1101-1125). The taste of the period is perhaps best expressed through the fine porcelain produced by kilns in the north and, later, the south. During the Northern Song, one of the most renowned of these was the Ding Kiln, located in Dingzhou, Hebei province, not far from the Northern Song capital. (Fig. 2 ) Despite the high quality of the wares, there was mass production of some items, and ceramics became an everyday commodity for the first time in Chinese history.

Fig. 2
Fig. 2 Thin-bodied Ding kiln bowl with lotus petal pattern
Height: 8.2cm
Unearthed in 1969 from the crypt of the pagoda at Jingzhi-si [temple], Dingzhou, Hebei province. Now in the collection of the Dingzhou Municipal Museum.
The Song dynasty emerged from the division of the Five Dynasties period (907-960) to weather successfully a simmering threat from the north for a century and a half from the time of its founding by Zhao Kuangyin (927-976). And, from the outset, the Song was no stranger to warfare. The founder of the Song dynasty never succeeded in bringing all of what had been China in the heyday of the Tang dynasty under his control. He brokered a precarious peace with the vast Liao state to the north established by the Khitan as early as 907. Prior to the founding of the Song, the Khitan rulers were receiving tribute from the Tibetans (Tubo), Tuyuhun, the pre-dynastic Tanguts, the Uyghur tribes and Arslan Turks, and they were close allies with the short-lived Latter Jin dynasty until they vanquished it in 946. In the first half of the 11th century, the Tanguts, an ethnic group that later converted to Tibetan Buddhism, established the Xixia or Western Xia dynasty centred on Ningxia and Inner Mongolia. With its northern hinterland crowded with the polities of different ethnic groupings gradually converging towards an agricultural—and dynastic—lifestyle, the Song oriented itself towards the south. Ironically, it was the Liao dynasty of the Khitan, not the Song, who resumed the Chinese perennial practice of building Great Walls of heavy masonry, as well as extensive trench systems, in the north.

Fig. 3
Fig. 3 Longting (Dragon Pavilion) built on the site of the audience hall in the grounds of the Imperial City in the Northern Song capital, Bianliang (present-day Kaifeng).
The territory of the Northern Song was limited to the Central Plains area, and did not extend much further north than the parallel of today's Tianjin. Zhao Kuangyin, the first Song emperor whose posthumous title was Song Taizu (r. 960-975), established his capital in Bianliang (Kaifeng), although today there are few remains of, but many monuments to, the Song period in that city. In what was once the Imperial City or the walled palace precincts of Song Bianliang, on the site of an imperial audience hall today there stands the Longting, or Dragon Pavilion. (Fig. 3) But it is a Qing structure built in 1692 by the Kangxi Emperor and it now houses a bargain basement waxwork 'likeness' of Zhao Kuangyin.

The Military Face of the Song Dynasty

Zhao Kuangyin was a skilled soldier, but the Song is not thought of today as a 'martial' dynasty. This impression is not only attributable to our appreciation of the refinement of its culture, but also to the fact that its government was effected through civilian administrators rather than regional military governors, as had been the case with the majority of preceding polities. However, in the Song dynasty, traditional combat weapons, referred to in Chinese military histories as 'cold weapons' (leng bingqi), reached the apogee of their development. The manufacture of firearms, or rather of weapons making use of gunpowder, also began in the Song. One of the priorities of the Song when establishing its capital in Bianliang was setting up large arsenals there under the direct control of the central government.

Information concerning the weapons, military institutions and strategic philosophies of the Song dynasty is best obtained from a mid-11th century work titled Wujing zongyao (The essentials of military classics). The work was compiled by Zeng Gongliang (998-1078) and Ding Du (990-1053) in response to an imperial edict of Emperor Renzong (r. 1023-1063). The work comprises two sections, totalling 40 fascicles, and its illustrations have proved invaluable for later military historians. The original Song edition was lost, and the earliest we have dates from the years between the Hongzhi and Zhengde reigns, specifically between 1438 and 1521, and it was based on a Southern Song edition. In 1959, the prestigious academic publishing house Zhonghua Shuju photo-lithographed this edition, which was in the possession of scholar and bibliophile Zheng Zhenduo (seeChina Heritage Newsletter #4, Articles, 'Shaping the Forbidden City as an Art-Historical Museum in the 1950s'), and a reproduction of that work was also included in the collection titled Zhongguo gudai banhua congkan (The collection of ancient Chinese wood-block printed works), published by Shanghai Ancient Books Publishing House in four volumes in 1988.

Fig. 4
Fig. 4 Photograph of a replica of a Song dynasty siege engine (paoshiji or paoche, ballista) from the Beijing Military Museum. (Source: Lu Xixing ed., Zhongguo gudai qiwu dacidian: bingqi, xingju[Comprehensive dictionary of ancient Chinese artefacts: Weapons and instruments of punishment], Shijiazhuang: Hebei Jiaoyu Chubanshe, 2004.)

Fig. 5
Fig. 5 Photograph of replicas of two Song dynasty siege engines from the Beijing Military Museum. Left:eche or eguche, lit. 'swan-goose wagon' or 'pecking machine', designed to harass defenders on the top of walls. Right: fenyunche orfenwenche, a low armoured vehicle covered with fresh hide to prevent arrows penetrating, which could be pushed up against the base of fortified walls, while providing cover for moving materials or bringing in reinforcements of up to ten persons laying siege. (Source: as above.)
The illustrations in this ancient military encyclopaedia reveal the high level attained by Song dynasty military inventors, designers and craftsmen, and the importance attached by the Song to weapons manufacture. The cold weaponry it includes and describes remained largely unchanged down to the Qing dynasty. Moreover, siege warfare and siege machinery are documented in great detail, indicating the great advances made by the Song in this area. The mastery of the many siege engines, such as the paochefenyunche and eguche, (Figs. 4 and 5) [Elm05.jpg & Elm06.jpg] described in this work would have made the Song armies a potentially formidable besieging force.

The Song Dynasty under Siege and its Walls

The Song armies were not, however, prone to laying siege. The Song dynasty was itself under siege. The final collapse of the Song before invading Jurchen armies was preceded by a steady retreat, albeit diplomatic. The failure of barricades to hold back the enemy does not play a part in the Song demise as it is conventionally related in history books, to the extent that the Manchu advance into the Central Plains is described euphemistically as the entry through Shanhaiguan Pass of the Manchu armies. For this reason, the Song has never been regarded as a dynasty that built barriers like the Ming Great Walls to protect itself. Yet, in fact, as we will see below, there are many parallels in the way the defences these two dynasties put in place were sidestepped in the course of their fall.

The Northern Song dynasty is not regarded as a dynasty that constructed defensive long walls, trench emplacements or barriers, unlike the rival Liao and Jin dynasties to their north. However, in an article published in the May 2006 issue of Inner Mongolia Social Sciences, Tao Yukun, an historian at Inner Mongolia Normal University, puts paid to that view. She shows, convincingly, that in the 11th century the rulers of the Northern Song drew on aspects of the long-standing defensive policies formulated by China's rulers of the Qin and Han dynasties, of erecting walls and barriers to prevent the southern incursion of peoples inhabiting the vast Eurasian steppe. But, as Tao describes, the 11th century Song dynasty's Ministry of Defence implemented a 'green belt' defensive policy that took the form of 'elm tree palisades' (yusai), a sustainable, living 'Great Wall' that would have partly offset environmental degradation in northern China.

The Great Walls of Elm

The stand-off between the Song dynasty and the northern nomadic pastoral peoples began in the mid-11th century. The encroachment of the proclaimed Liao dynasty of the Khitan people into northern China was signalled by its occupation of the Sixteen Prefectures of Yan-Yun, including present day Beijing and northern Hebei. The area the Khitan then controlled extended south of the line of earlier Great Walls first delineated by the Yan state and Qin and Han dynasties in the third and second centuries BCE. As a result of Khitan advances, the border between the Liao and Song ran in a line from the Baigouhe River in the east, and extended, at the centre, through today's northern Hebei and central Shanxi provinces. The area of the North China Plain, to the east of the Taihang Mountains, was vulnerable Song territory, and the plains lacked topographical features that lent themselves to the easy construction of forts, such as those that commanded mountain passes to the north. To defend itself in the face of escalating territorial threat, the Song government constructed a series of connected ponds and lakes (called tangbo) running from Baozhou (present day Baoding) in the west to Cangzhou in the east. The administrative centre or zhisuo of Song dynasty Cangzhou was in present day Cangxian county, Hebei province. The network of lakes was designed to thwart the Liao cavalry, against whom the Song also had recourse to primitive non-explosive landmines and spiked obstacles named for their shape 'puncture vines' (jili or Tribulus terrestris).

The lines of natural and man-made lakes were unfortunately seasonal and they either froze over in winter, enabling the Khitan horsemen to cross, or they dried up in the late autumn or early spring. The lakes were therefore supplemented by a dense network of trees, which were called 'the elm palisades' (yusai). The extent to which the Chinese or lacework elm (Ulmus parvifolia), as opposed to other varieties of trees, was planted to form the palisades cannot be ascertained from the brief historical records of this defensive experiment in reforestation. However, there is a reference in Song huiyao jigao (The compiled manuscripts containing important documents of the Song), cited by Tao Yukun, to an order issued by Emperor Shenzong in 1072 to plant 'mulberries, dates, elms and willows' on the northern frontier between Cangzhou and the Liao.

Fig. 6
Fig. 6 Illustration of lacework elm tree (yushu or yuqianshu) from a Ming edition of the pharmacopoeia titled Jiuhuang bencao(Pharmacopoeia for relieving years of plight), dated 1525.
The lacework elm has many uses, and its leaves, bark and other parts are included in many Chinese pharmacopoeias. (Fig. 6) [Elm02.jpg] Moreover, it is a hardy native of the harsh climate of north China and it does well in poor soil, whether sand, clay and loam. In recent years lacework elm trees have been planted in areas of Inner Mongolia in an attempt to halt desertification, and it is being introduced, on an experimental basis, as a street-side shade tree in parts of the USA because it is free from Dutch elm disease. It grows up to 18m in height and, when closely planted, its broad pendulous branches form thickets that would be difficult for cavalry to penetrate.

Elm trees were planted along the borders of the Song dynasty's Hebei 'Lu' or 'circuit', the political division equivalent to a contemporary province. The elm palisades were planted between the lakes and ponds; they were also planted on all high ground, along official roads and around settlements. To the west in the Taihang Mountains, the terrain that formed the borders between the Song dynasty's Hedong Lu and the Liao domains was high wooded ground, and here the Song issued orders that forests be conserved, effectively forming a second tier of 'elm palisades'. However, because of the paucity of relevant historical documentation, we have little detailed information today about the full extent of the elm palisades of the Song.

Later Policy Reversal

In adopting this policy of planting and using existing forests for defence, the Song military policy-makers were emulating what little was known of an aspect of Qin-Han defence strategies mentioned only in passing reference to Meng Tian in Han shu and other early texts, but cited as a precedent by Song defence policy officials. The policy of protecting forests to defend the state's borders and the ban on tree-felling created unemployment in some places and resulted in a shortage of firewood. Concerned by this situation, Han Qi, a military official from the Dingzhou Lu alerted the throne to the problem in a memorial of 1049: 'The court has banned the felling of trees in areas adjacent to the borders in order to obstruct the entry of barbarians and marauders into this circuit. A blanket ban was also implemented at that time on land clearance for farming in the low hilly areas near villages, and this resulted in many of the inhabitants of the borderlands suddenly losing any means of employ. Now the price of firewood and fuel has soared, and the policy has had the inverse effect of enabling the enemy to reap enormous profits from our shortfall. I have sent out inspectors to determine in which areas these bans should be applied and believe that a shelter belt between us and the enemy of fifty or sixty li is sufficiently wide to ensure our defence. So I have redrawn the boundaries where the bans apply and have issued a proclamation allowing timber felling in the areas where bans are felt to be no longer necessary'. This would seem to be a reversal of an earlier ordinance issued by Han Qi himself not permitting any tree-felling north of Dingzhou.

Environmental Protection

This defensive policy of enhancing and protecting forests also served to protect the environment of northern China. In his study of changes in the vegetation cover of north China, Zhu Shiguang pointed out that in the historical period most depletion of the tree cover in the region resulted from human agency. However, in his discussion of the entire period of more than two and a half millennia from the Western Zhou to the Qing dynasty, he omitted the Song, Liao and Jin dynasties from his discussion. Tao Yukun believes that the Song policy may have reversed this general historical trend, even if only for a short time.

By the time of the Xining reign period (1068-1077), the Liao was demanding that the Song redraw the boundaries of Hedong Lu. The Song resolved to strengthen their borders and augment the 'elm palisades', establishing an office in 1073 under Huo Shunfeng to oversee them, but in 1078 Huo was dismissed and the initiative came to nought. The palisades aroused the ire of the Liao, who covertly and overtly despatched axmen to fell the trees. However, a way through the elm thickets facilitating the passage of cavalry travelling in more than single file was finally cut by the Northern Song official Tong Guan (1054-1126). In an attempt to form an alliance with the Jurchen (Jin dynasty) against the Khitan's Liao dynasty, he launched an attack along the corridors he felled through the elm palisades and attempted to recover the Yan-Yun prefectures. He was unsuccessful in battling the Liao, and sought help from the Jin, who occupied Yanjing (Beijing) in his stead. The Jin honoured Tong Guan for his contribution to their victory and appointed him prince of Guangyang. In 1125, Tong was in Taiyuan, when he heard the news that the Jin troops had made the most of the opportunity he extended to them and had conquered the Northern Song capital Bianliang. Tong Guan rushed south to join the Song emperor Huizong who was preparing to flee to southern China, but, for his part in the collapse of the Northern Song and Huizong's subsequent death, Tong was sentenced to death by Emperor Huizong's successor Qinzong, who reigned for the final year of the Northern Song. For Tong Guan, and the Song, the proverbial Birnam Wood to Dunsinane had come.